Sabtu, 08 April 2017

cerpen tentang ayah

RAK BUKU PEMBERIAN AYAH
Oleh Siti Wulandari

            Rahma sangat senang sekali membaca buku. Terutama membaca sebuah novel. Rahma sangat menyukai novel yang bergenre romantis dan komedi. Tidak heran jika banyak buku yang berserakan dikamar indahnya itu. Dari mulai buku tentang teknologi, ekonomi, religi, bahasa asing hingga novel ia miliki.
            Untuk membeli buku tersebut, Rahma harus menyisihkan uang jajannya selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Karena uang jajannya tidak sebanyak teman-temannya. Tetapi, Rahma tidak pernah mengeluh apalagi meminta tambahan uang jajan kepada orang  tuanya. Rahma sangat memahami kondisi ekonomi keluarganya.
            Ayahnya hanyalah seorang kuli bangunan yang gajinya pun tidak menentu. Terkadang gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah Rahma. Rahma pun rela jika ia tidak diberi uang jajan oleh orang tuanya. Namun orang tuanya selalu berusaha untuk memberikan uang jajan setiap hari.
            Setiap uangnya terkumpul cukup banyak, Rahma selalu pergi ke toko buku untuk membeli buku yang ia inginkan. Dari hobinya itulah ia memiliki wawasan yang luas dan ia juga selalu berprestasi di sekolahnya. Karena prestasinya itu, ia mendapat beasiswa berupa bebas biaya SPP selama satu tahun.
            Mendengar kabar tersebut, orang tuanya sangat bahagia dan bangga memiliki anak seperti Rahma. Semakin kesini, kamar Rahma seperti kapal pecah. Banyak buku yang berserakan. Penyimpanannya pun tak beraturan. Dengan terpaksa, Rahma meminta rak buku kepada ayahnya. Rahma berharap ayahnya dapat memberikan rak buku secepatnya. Tetapi, Rahma tidak bisa memaksakan kehendak itu. Apapun yang terjadi Rahma harus mecobanya. Rahma menghampiri ayahnya yang tengah duduk di ruang tamu.
            “Ayah, ada yang mau Rahma bicarakan dengan ayah.” Ujar Rahma gugup.
            “Silahkan. Memangnya Rahma mau membicarakan apa dengan ayah?” Tanya ayah lembut.
            “Begini ayah, buku yang ada di kamar Rahma jumlahnya semakin banyak. Oleh karena itu, Rahma menginginkan rak buku untuk menaruh semua buku Rahma agar tertata dengan rapi.” Pinta Rahma kepada ayahnya.
            “Baiklah kalau itu yang Rahma inginkan. Nanti ayah akan buatkan rak buku untuk Rahma, ya? Tapi, tidak apa kan kalau ayah membuat rak bukunya dengan memanfaatkan kayu bekas yang ada di tempat kerja ayah?” Tanya ayah.
            “Tidak apa ayah. Ayah mau membuatkan rak buku untukku saja, Rahma sudah bahagia. Terima kasih ayah.” Jawabnya tersenyum.
            Hari telah berganti. Saatnya Rahma memulai aktivitasnya sebagai seorang pelajar. Rahma berjalan ke sekolah ditemani bunga-bunga beterbangan disekitarnya. Rahma sangat semangat menjalani hari-harinya. Karena suatu saat nanti Rahma akan mempunyai rak buku yang ia idam-idamkan sejak lama. Ditambah lagi rak buku tersebut dibuat oleh tangan ayahnya sendiri dengan penuh rasa kasih dan sayangnya. Rahma tidak sabar menunggu hal itu terjadi.
            Saking bahagianya, Rahma tidak sadar ia telah sampai di sekolahnya. Rahmapun mengikuti pelajaran dengan baik. Mentari tepat di atas kepala. Siang yang terik sekali. Bel pulang berbunyi. Rahma segera membereskan dan merapikan buku pelajaran yang berserakan di atas mejanya. Setelah itu, Rahma beranjak pulang meninggalkan sekolahnya.
            Begitu sampai di depan rumah, Rahma merasa heran karena banyak tetangga yang berkunjung ke rumahnya. Dengan rasa penasaran yang tinggi, Rahma segera berlari dan masuk ke dalam rumahnya. Pandangan semua orang yang ada di dalam rumah pun langsung tertuju kepadanya. Mereka semua melihat Rahma dengan penuh rasa iba. Rahma semakin heran karena ia tidak melihat ibunya sama sekali. Ia pun bertanya kepada salah seorang tetangganya mengenai keberadaan ibunya.
            “Maaf Bu, apakah Ibu melihat ibu saya?” Tanya Rahma.
            “Ibu Rahma ada di ruang keluarga.” Jawab salah seorang tetangganya.
            “Terima kasih, Bu.” Sahut Rahma
            “Iya, sama-sama Rahma.” Jawabnya.
            Rahma bergegas menuju ruang keluarga. Benar saja ibunya sedang ada disana. Ibunya sedang menangis tersedu-sedu. Secara perlahan, Rahma menghampiri sang ibu. Ibunya mencoba tersenyum kepada Rahma. Begitupun sebaliknya, Rahma membalas senyuman sang ibundanya.
            “Kamu sudah pulang, Nak?” Tanya ibu berusaha menghentikan tangisannya.
            “Iya, Rahma sudah pulang Bu, baru saja.” Jawabku tersenyum.
            “Ibu, kenapa ibu menangis?” Sambung Rahma.
            “Ibu hanya ingin menangis saja.” Jawab ibu tenang.
            “Lalu yang ada dihadapan kita ini jenazah siapa, Bu?” Tanya Rahma lembut dan menahan air mata.
            Perasaan Rahma mulai tidak enak.
            “I.. ini jenazah ayah kamu, Rahma.”Jawab ibu meneteskan air mata.
            Seketika Rahma terdiam seribu bahasa dan air mata mengalir deras. Rahma tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya.
            “Ibu bohongkan sama Rahma? Ini bukan jenazah ayah kan, Bu? Sekarang ayah lagi kerja kan, Bu?” Tanya Rahma menggoyang-goyangkan tubuh ibunya.
            “Ibu tidak bohong, Nak. Ini jennazah ayahmu.” Jawab Ibu.
            “Ibu, apa yang terjadi dengan ayah?” Tanya Rahma dengan air mata yang tak dapat dibendung lagi.
            “Ayah mengalami kecelakaan kerja. Saat itu, ayah sedang membuat rak buku yang kamu inginkan, Rahma. Saking semangatnya, ayahmu tidak melihat ada material yang sedang menggantung diatasnya. Tidak lama, material itu jatuh tepat dimana ayahmu sedang membuat rak buku itu. Teman-teman ayahmu panik dan mereka segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Namun sayang, nyawa ayah tidak bisa ditolong lagi. Karena luka bagian kepalanya sangat parah. Itulah kronologis kejadian yang disampaikan rekan kerja ayah kepada ibu.” Jelas ibu.
            Mendengar penjelasan itu, hati Rahma semakin hancur. Karena permintaannya itu, membuat nyawa ayahnya melayang. Rahma menyesal meminta rak buku kepada ayahnya kalau kejadiannya akan seperti ini. Rahma terus menyalahkan dirinya atas meninggalnya sang ayah. Tak henti-hentinya Rahma menangis meminta maaf kepada ayahnya yang terpujur kaku. Ibunya berusaha menenangkan putrinya.
            “Ibu, maafkan Rahma, Bu? Gara-gara Rahma, ayah jadi meninggal. Rahma sangat menyesal, Bu.” Sahut Rahma menangis terisak-isak.
            “Hush. Jangan berbicara seperti itu Rahma. Ini sudah menjadi kehendak Yang Mahay Kuasa. Jadi, Rahma jangan menyalahkan diri Rahma terus ya?” Jawab ibu menguatkanku.
            Rahma hanya bisa mengangguk. Tidak bisa berkata apa-apa lagi. Rahma berusaha untuk tersenyum disela kesedihannya.
            Kabut hitam menghiasi hati Rahma. Hari ini adalah hari dimana ayahnya akan dimakamkan di TPU terdekat. Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Begitupun dengan ibunya. Setelah prosesi pemakaman ayahnya selesai, Rahma dan ibunya pulang ke rumah.
            “Rahma, rak buku yang kamu inginkan sekarang sudah ada dikamarmu. Semoga kamu senang ya nak. Itu adalah pemberian ayahmu. Jaga baik-baik ya, Rahma?” Pinta Ibu menahan tangisannya dan berusaha untuk senyum kepada Rahma.
            “Iya, Bu. Rahma janji, Rahma akan menjaga rak buku itu. Ini adalah pemberian terakhir ayah untukku.” Jawab Rahma dengan mata yang berkaca-kaca.
            Rahma segera pergi ke kamarnya. Rahma sangat terharu melihat rak buku karya ayahnya itu diletakkan disebelah meja belajarnya. Di rak buku tersebut, Rahma menemukan sepucuk surat.




            Dibawah pohon rindang, Rahma membuka lipatan surat yang berisipesan dari ayahnya.
Untuk Anakku Tercinta Rahma

Rahma, bagaimana rak buku yang telah ayah buat?
Apakah kamu menyukainya?
Ayah harap kamu menyukainya. Kamu tahu tidak? Ayah membuatnya dengan penuh cinta kasih dan semangat yang tinggi. Ayah sangat bersyukur mempunyai anak sepertimu, Rahma. Mudah-mudahna buku yang ada dikamarmu dapat tertata rapi dalam rak buku yang telah ayah buat. Semoga dengan adanya rak buku ini, kamu semakin semakin semangat belajar, dapat mempertahankan prestasimu. Ayah berharap jika kamu dewasa kelak, kamu menjadi anak yang salehah dan menjadi orang yang berguna bagi banyak orang.

Ayah sayang Rahma.

Ayah

            Rahma meneteskan air mata haru. Perih karena kehilangan masih saja terasa walau Rahma mencoba untuk melupakannya. Kabut hitam itu masih saja terasa. Tapi, pagi sudah hadir menemani, mentaripun harus terbit.
            Demi ayah, akan kujauhkan duka dan tegar dalam menghadapi dunia. Aku harus bisa menjadi anak yang salehah dan berguna bagi banyak orang seperti harapan ayah.
            Rahma menjalankan rutinitas seperti biasa dan mencoba melupakan semua yang telah terjadi serta membuka lembaran hidup yang baru bersama ibunya.

I’M SURE I CAN DO THAT!!!




THE END

0 komentar:

Posting Komentar